Selasa, 11 Juli 2017

Plastik Ramah Lingkungan Berbahan Singkong dan Jagung

Sampah plastik menjadi salah satu masalah lingkungan | tas promosi


tas promosi


EnviGreen juga mengatakan, keistimewaan kantong buatannya adalah, kantong ini dapat dimusnahkan dengan cara dibakar tanpa meninggalkan sisa atau racun atau dicelupkan dalam air. Bahkan, kantong disebutkan aman jika termakan oleh hewan.

Kantong ramah lingkungan yang telah melalui uji coba dari The Karnataka State Pollution Control Board (KSPCB) ini, dijual dengan harga US$0,07 hingga US$0,22 (Rp1.000 hinggaRp3.000). 

Kantong plastik buatan perusahaan EnviGreen ini, yang terbuat dari 12 bahan bahan alami termasuk kentang, singkong, jagung, pati alami, minyak sayur pisang dan minyak bunga, diklaim ramah lingkungan.

Dilansir Yahoo News,  meski terbuat dari bahan alami, namun kantong plastik ‘ramah lingkungan’ ini benar-benar bisa digunakan seperti pada umumnya.  “Kami tak menggunakan bahan kimia sama sekali. Cat dalam kantong ini pun dibuat dengan cara alami,” ungkap pendiri EnviGreen, Ashwath Hedge.

Sampah plastik menjadi salah satu masalah lingkungan yang tengah jadi perhatan serius. Berniat mengurangi permasalahan tersebut,  sebuah perusahaan kreatif India mencoba menciptakan kantong plastik yang 100 persen terbuat dari bahan alami.

Penghargaan Produsen Plastik Ramah Lingkungan | tas promosi



Perhatian itu terwujud dalam kegiatan-kegiatan berwawasan lingkungan hidup agar kita selalu ingat bahwa aksi kita hari ini akan berdampak di masa depan. Tepat pada peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia, yang jatuh pada tanggal 5 Juni 2016, dalam salah satu kegiatan lingkungan hidup, pemerintah provinsi Jawa Tengah kembali menganugrahkan penghargaan PROPERDA lingkungan hidup untuk tahun kedua berturut-turut kepada PT Naga Semut. Gubernur Jawa Tengah, Bapak Ganjar Pranowo, memberikan piala dan piagam penghargaan kepada manajemen perusahaan.

Penghargaan ini merupakan simbol bahwa semua pihak mempunyai peran masing-masing dalam mewujudkan masyarakat yang sadar lingkungan yang lestari. Naga Semut sebagai eksportir plastik dan bagian dari masyarakat Jawa Tengah, juga berupaya kontribusi sosial agar industri plastik kemasan bisa maju sebagai salah satu industri ramah lingkungan dalam negeri untuk Indonesia dan dunia yang lebih baik.

Dalam era keterbukaan pasar ASEAN sendiri melalui mekanisme Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), harga, kualitas serta value yang didapat untuk konsumen plastik semakin bersaing alias kompetitif sehingga perusahaan plastik harus selalu berinovasi dan mempersiapkan strategi yang mantap untuk bertahan dan sukses di industri ini.

Perhatian pemerintah daerah atas perkembangan industri plastik yang ramah lingkungan juga patut menjadi topik yang disampaikan kepada segenap penyalur/distributor dan masyarakat konsumen.

1. Penggunaan yang menyebar dari kota sampai desa. 2. Teknologi untuk daya urai di lingkungan alam masih terus berkembang. 3. Masih tingginya harga bahan substitusi plastik berbasis organik. 4. Adanya definisi yang beragam atas konsep “ramah lingkungan” itu sendiri. 5. Edukasi dan disiplin masyarakat atas penanganan kemasan plastik bekas. 

Naga Semut sebagai salah satu produsen plastik ramah lingkungan, dikenal juga sebagai pabrik kantong plastik kresek juga memperhatikan perkembangan teknologi untuk menghasilkan kantong plastik ramah lingkungan. Salah satu teknologi bahan plastik oxo-degradable yang diterapkan dalam proses produksi di pabrik plastik Naga Semut adalah penggunaan Oxium dari salah satu produsen bahan additif di dunia yang lahir di Indonesia, dan beberapa brand lain EPI serta D2W yang diproduksi oleh produsen asal Kanada dan Inggris.

Produk ramah lingkungan merupakan strategi yang perlu dikembangkan oleh berbagai perusahaan untuk memberikan dampak sosial yang positif bagi konsumen era digital sekarang ini. Dengan interaksi sosial di dunia digital yang semakin mudah, keberadaan produk ramah lingkungan akan semakin dicari melalui informasi di berbagai media sosial dan online channel lain yang ada.

Sugianto Tandio, Pelopor Kantong Plastik Ramah Lingkungan | tas promosi



Setelah hampir menguasai market perusahaan ritel di Indonesia, Sugianto ingin merambah pasar tradisional. Kapasitas produksi yang mencapai 3.000 ton per bulan untuk Oxium dan 500 ton per bulan untuk Ecoplas siap ditingkatkan untuk memenuhi permintaan di pasar tradisional. PT Tirta Marta juga menggandeng 12 perusahaan pembuat kantong plastik untuk menerapkan dua sistem ramah lingkungan itu.

Sugianto menyebutkan, kantong plastik hitam yang beredar di pasar-pasar tradisional merupakan hasil daur ulang berkali-kali. "Kondisi plastik sangat jelek. Harus diperbaiki," tegasnya.

Dengan upaya itu, diharapkan ancaman bencana karena kantong plastik di negeri ini bisa dicegah. Selain itu, Sugianto berharap pemerintah lebih getol dalam mengedukasi masyarakat. Sebagian besar masyarakat yang masih menggunakan kantong plastik konvensional harus diedukasi untuk mengelola sampah supaya tidak menjadi musuh lingkungan.

Sementara itu, teknologi kantong plastik Oxium dipakai sebagian perusahaan waralaba besar. Di antaranya, Indomaret, Alfamart, dan Hero. Tanda yang bisa dilihat, di kantong plastik dari toko-toko tersebut terdapat logo Oxium yang dilengkapi gambar kantong plastik hancur dalam empat tahap.

Sugianto menerangkan, selisih harga bagi beberapa perusahaan tersebut tidak bisa dibandingkan dengan kontribusi mereka menjaga lingkungan dari ancaman bahaya kantong plastik. Dengan menggunakan kantong plastik yang mudah terurai, brand perusahaan juga bisa ikut terangkat. "Mungkin bisa dialokasikan dari biaya promosi," katanya.

Dengan inovasi tersebut, Tirta Marta mendapat penghargaan dari Pemprov DKI Jakarta. Penghargaan juga didapatkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan kantong plastik Oxium dan Ecoplas. Penghargaan diberikan karena mereka ikut menjaga lingkungan.

Setelah hampir dua tahun dua teknologi itu diperkenalkan, perkembangannya berbeda. Kantong plastik dengan teknologi Oxium lebih laku di pasar lokal. Sementara itu, sebagian besar kantong plastik dengan teknologi Ecoplas diekspor. "Memang ongkos produksi Oxium lebih rendah daripada Ecoplas," katanya.

Sugianto membandingkan, ongkos produksi kantong plastik Oxium dengan konvensional hampir setara. Sementara itu, biaya produksi kantong plastik Ecoplas lebih mahal 20 persen daripada biaya kantong plastik konvensional.

Brand-brand asing yang menggunakan kantong plastik Ecoplas, antara lain, PoloRalphLaurens, Raoul, Nickelodeon Universe, dan Lake Winds. Kantong plastik Ecoplas juga digunakan produk lokal. Misalnya, Grup Ciputra dan Miracle. 

Setelah ditambah bahan aditif tersebut, kantong plastik yang semula baru terurai setelah seribu tahunan bisa dipercepat hanya dalam kurun dua tahun. Bahkan, pada kondisi tertentu, misalnya di atas genting, kantong plastik dengan sistem Oxium bisa semakin cepat terurai. "Dua tahun itu dalam kondisi umum. Pada kondisi tertentu bisa lebih cepat," ujarnya.

Pengembangan selanjutnya adalah teknologi Ecoplas. Dalam teknologi itu, Sugianto mencampur bahan pembuat bijih plastik dengan tepung ketela pohon. Dalam persentase tertentu, kantong plastik yang berbahan ketela pohon itu bisa hancur hanya dalam waktu sekitar dua bulan.

Dia menyatakan, pembuatan kantong plastik dengan bahan tepung ketela itu bisa berdampak sosial. Yaitu, di kawasan pedesaan, geliat orang untuk menanam ketela bisa meningkat. Selain itu, bisa membuka lapangan kerja baru. "Selama ini kami belum membuat desa binaan. Kami sebatas membeli secara masal ketika musim panen," ungkapnya. Dia, antara lain, membeli di kawasan Jawa Barat.

Dia memperkirakan, selisih ongkos membuat kantong plastik berbahan jagung dengan bahan murni bijih plastik mencapai 300 persen. Selisih tersebut, menurut Sugianto, terlalu tinggi. Akhirnya, dia menemukan teknologi Oxium dan Ecoplas untuk mengatasi dampak buruk kantong plastik. Dua teknologi tersebut sudah dipatenkan.

Dia menuturkan, pada dasarnya teknologi Oxium adalah memberikan campuran bahan pembuat bijih plastik. Dalam pembuatan bijih plastik, Sugianto memberikan campuran bahan aditif.

Dengan penambahan bahan tersebut, dia mengklaim proses oksidasi pada kantong plastik bisa dipercepat. Dengan demikian, mikroba bisa semakin cepat menghancurkan sampah kantong plastik.

Dampak lain bahaya kantong plastik adalah saluran air di sungai yang tersumbat. Sama dengan di darat, kantong plastik yang berada di dalam atau permukaan air tidak mudah hancur. Sampah plastik yang berkumpul dan berdesakan menyumbat aliran air.

Dari potensi-potensi dampak tersebut, akhirnya Sugianto yang saat itu mencari duit dari usaha membuat kantong plastik berpikir untuk masa depan lingkungan. Akhirnya, dia menghabiskan waktu sekitar delapan tahun untuk melakukan riset. Riset tersebut dilakukan dengan cara menggabungkan teknologi pembuatan kantong plastik yang ramah lingkungan, berdampak sosial, dan harganya terjangkau.

Dia menjelaskan, waktu itu di Amerika ada teknologi pembuatan kantong plastik berbahan jagung. Dia menyebutkan, teknologi tersebut memang cukup efektif menciptakan kantong plastik yang mudah hancur. "Tapi, ongkosnya tinggi. Bisa berpengaruh pada harga jual kebutuhan pokok," jelasnya.

Untuk bisa menghancurkan plastik, mikroba butuh proses oksidasi. Pada kantong plastik konvensional yang sering kita peroleh ketika berbelanja di pasar tradisional, proses oksidasi ideal berjalan sekitar seribu tahun atau seabad. "Baru setelah itu mikroba mampu menghancurkan plastik tersebut," ucap Sugianto.

Dia menjelaskan, di Indonesia, dampak timbunan sampah kantong plastik tersebut sudah terjadi. Tepatnya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Bandung, 21 Februari 2005. Tragedi yang menelan 143 korban tewas itu dikenang dengan sebutan tragedi longsor sampah.

Sugianto menjelaskan, kejadian tersebut muncul karena sampah kantong plastik sudah menggunung. Sampah-sampah tersebut sekilas sudah berbentuk menyerupai tanah. Tapi, ketika hujan deras mengguyur, tanah yang terbuat dari timbunan kantong plastik itu rapuh dan akhirnya longsor sehingga membunuh ratusan orang.

Tidak betah dengan suara deru mesin, Sugianto lantas mengajak berbincang di ruang kerjanya. Dia lantas menjelaskan, sejatinya kantong plastik itu merupakan benda organik. Menurut pria 47 tahun tersebut, plastik merupakan turunan dari minyak, sedangkan minyak terbuat dari plankton. "Jika dirunut, plastik itu kan barang organik," jelasnya.

Apa pun bentuknya, Sugianto menyebut kantong plastik itu musuh lingkungan. Dia menjelaskan, massa molekul yang terkandung dalam plastik cukup tinggi. Kandungannya mencapai 5,5 juta molekul dalam 1 gram-sentimeter kubik.

Nah, tingginya massa molekul yang terkandung dalam plastik tersebut membuat plastik cukup kuat. Plastik yang menjadi sampah dan dibuang di tempat pembuangan sampah tidak bisa langsung dihancurkan oleh mikroba. "Mikroba tidak kuat memakan plastik," katanya.

Pria kelahiran Jambi itu sempat mengajak mengelilingi tempat usahanya. Di dalam pabrik, berdiri mesin-mesin pembuat kantong plastik. Mesin-mesin setinggi pohon kelapa itu berfungsi mengubah bijih plastik menjadi lembaran plastik.

Di tengah mesin produksi kantong plastik yang terus menderu, Sugianto menjelaskan bahwa teknologi Oxium dan Ecoplas tersebut diterapkan pada tahap produksi bijih plastik (polyethylene). Sayangnya, dengan alasan rahasia perusahaan, dia tidak memberikan kesempatan untuk berkeliling melihat pembuatan bijih plastik. "Dari sinilah sifat buruk kantong plastik kita," ujar Sugianto.

Penemuan teknologi pembuatan kantong plastik seratus tahun silam konon merupakan terobosan. Namun, 50 tahun kemudian, muncul kesadaran bahwa kantong plastik merupakan musuh lingkungan. Sifatnya yang tidak mudah terurai diprediksi mengancam kelestarian lingkungan. Sugianto akhirnya memelopori kantong plastik ramah lingkungan.

BEBERAPA langkah masuk di kompleks pabrik PT Tirta Marta di Cikupa, Tangerang, mata langsung disuguhi tumpukan kantong plastik atau yang sering disebut kresek bekas. Seluruh plastik itu tertata rapi menggunung. Di sekitarnya, beberapa karyawan sedang membakar sebagian sampah kertas yang terselip.

PT Tirta Marta bisa jadi masih asing terdengar. Perusahaan yang dipimpin Sugianto Tandio itu bergerak dalam industri kantong plastik. Didirikan pada dekade 1970-an, perusahaan yang berdiri di lahan seluas dua hektare tersebut terus berkembang.

Yang terbaru, mereka memelopori teknologi Oxium dan Ecoplas dalam pembuatan kantong plastik. Dua teknologi tersebut mengubah asumsi bahwa kantong plastik merupakan musuh lingkungan. Sugianto bertekad memproduksi kantong plastik yang ramah lingkungan atau yang disebut degradable plastic.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar