Rabu, 01 November 2017

PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN: 2 TAHUN BISA TERURAI

Penemuan sampah ramah lingkungan | tas spunbond di jakarta

tas spunbond di jakarta



“Penemuan” Sugianto ini sudah mendapatkan green label dari Indonesia Solid Waste Association (INSWA). Selain sertifikat green label, Oxium juga sudah lulus uji dari Sucofindo, Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, serta R&D Center Indonesia Solid Waste Perisai.

Meski baru shopping bag, namun penemuan Sugianto dengan Oxium-nya merupakan sebuah solusi terhadap plastik yang selama ini “dimusuhi” banyak orang, termasuk saya. Nah, sekarang ini tiap belanja ke tempat-tempat yang sudah disebutkan tadi, saya tak perlu lagi membawa tas-tas untuk menghindari plastik, karena tas plastik yang di tempat-tempat belanja itu sudah dijamin oleh Oxium sebagai plastik ramah lingkungan.

“Saat ini ada 15 pabrik yang menggunakan Oxium. Kita akan mem-black list pabrik yang menjual plastik ke toko-toko tersebut yang tidak sesuai dengan standar Oxium,” ujar Sugianto. “Percuma dong kalau toko-toko tersebut bilang go green tetapi plastiknya tidak ramah lingkungan.”

Beginilah kalo belanja bulanan. Saya dan istri tak pernah lagi menggunakan shopping bag, tetapi membawa beberapa tas untuk memasukkan barang belanjaan. Demi menghindari sampah plastik di rumah. Tetapi kalo ada penemuan sampah ramah lingkungan, sekali-sekali bolehlah pakai shopping bag dari plastik.

Seperti yang saya katakan, kita sulit menghindari plastik. Jadi harus ada solusi agar bisa menjadikan plastik mudah untuk terurai. Banyak orang yang kerap mengkritisi, tapi tidak punya solusi. Sabtu kemarin, saya baru tahu, ada tas plastik yang terbuat dari bahan singkong. Adalah ecoplas (www.eco-plas.com) yang mengeluarkan kantong plastik berbahan singkong. Ada pula Oxium (www.oxium.net), yakni produk dalam negeri yang telah mengeluarkan plastik ramah lingkungan. Produk ini dapat mempercepat proses degradasi plastik dalam waktu kurang lebih 2 tahun melalui mekanisme oksidasi, thermal, dan fotodegradasi (cahaya matahari).

Saat ini Oxium sudah digunakan oleh hampir lebih dari 90% di pasar modern, yakni di Carrefour, Indomaret, Alfamart, Superindo, Hero, Giant, Tip Top, Kemchicks, Guardian, Century, Yogya, Zara, dan Gramedia. “Namun saat ini kita baru fokus di shopping bags-nya saja dan masih di modern market,” ujar Sugianto. “Selanjutnya, kita akan menyisir ka pasar tradisional dan produk-produk lain yang terbuat dari plastik, bukan cuma shopping bag saja.”

Ternyata tidak. Pakar kimia plastik asal Amrik Steven Hetges mengatakan, plastik sesungguhnya tidak membahayakan. Plastik berasal dari jasad renik (mikroorganisme) dari tumbuhan laut yang mati dan mengendap di dasar bumi. Berdasarkan teori organik seperti yang kemukakan oleh Engker (1911), proses pelapukan dan penguraian secara anaerob dalam batuan berpori, akan mentransformasi jasad-jasad renik tersebut menjadi minyak bumi yang menjadi bahan dasar dari plastik.

So, plastik berasal dari bahan material organik. Kecuali plastik yang memiliki kestabilan fisikokimia yang sangat kuat, sehingga membutuhkan waktu ribuan tahun untuk dapat mengurai secara alami. plastik berbahan konvensional dari polimer sintetik, misalnya, yang saya sebut tadi baru bisa terurai dengan sempurna 300-500 tahun. Ibarat kata, kita sudah meninggal, hidup lagi, meninggal lagi, baru terurai plastik berbahan konvensional itu.

Plastik yang saya foto ini terbuat dari singkong. Sebagai orang awam, ketika melihat secara langsung dan memegang plastik ini, saya tidak tahu kalo plastik ini terbuat dari singkong.Di shopping bag ini tertulis: this bag is 100% degradable. It contains natural and sustainable resources.

Awalnya saya kaget. Plastik dari bahan organik? Artinya, seharusnya plastik itu bisa terurai sebagaimana makanan dong? Tapi kenapa plastik baru bisa terurai dengan sempurna membutuhkan waktu 300-500 tahun? Bahkan, berdasarkan penelitian dosen Kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB), I Made Arcana, zat pewarna hitam yang umumnya ada di kantong plastik, berbahaya bagi kesehatan. Zat ini kalo terkena panas dapat terdegrasi dan mengeluarkan zat yang menjadi salah satu pemicu kanker. Oleh sebab itu, kalo beli gorengan atau makanan yang masih panas, jangan langsung diletakkan di kantong plastik.

Jadi plastik itu berbahaya dong?

Namun, tentu sulit sekali menghindari plastik 100%. Kita sudah “terkepung” dengan plastik. Bahkan manusia sendiri sudah bersatu dengan plastik. Lihat saja mereka yang operasi hidung, dagu, dan anggota badan lain, dimana dibutuhkan plastik. Makanya saya katakan di atas tadi, diam-diam musuh, karena terpaksa menggunakan plastik di kala berbelanja di toko yang menggunakan plastik sebagai shopping bag kala saya tidak membawa tas lain.

Sabtu kemarin (16/10), saya diundang oleh Lucid Communication untuk menghadiri kongkow-kongkow para blogger. Bertempat di Tartine Restaurant, FX Lifestyle X’nter, Jakarta Selatan, saya dan teman-teman sesama blogger mendapat perspektif baru soal plastik.

Diam-diam saya ini musuh dalam selimut terhadap plastik. Di blog-blog saya dan di Kompasiana ini pun saya seringkali mengkampanyekan gerakan Say No to Plastik. Bukan cuma omong doang, dalam praktek sehari-hari, tiap kali belanja, saya dan istri selalu membawa sejumlah tas terbuat dari bahan agar menghindari plastik. Begitu pula ketika di toko buku, sebisa mungkin, saya keluar tanpa plastik.


Kementerian PUPR Uji Coba Sampah Plastik Jadi Aspal | tas spunbond di jakarta



Adapun pemanfaatan limbah plastik sebagai aspal merupakan bentuk kerjasama antara Kementerian PUPR dan Kementerian Koordinator (Kemenko) Kemaritiman. Universitas Udayana sengaja dijadikan lokasi ujicoba pertama karena akan dijadikan sebagai showcase pada Forum Pertemuan Tahunan World Bank dan IMF tahun 2018 mendatang terkait dengan solusi masalah limbah plastik.

Setelah berhasil diujicoba di Universitas Udayana, selanjutnya pemanfaatan limbah plastik untuk aspal juga akan dilaksanakan pada jalan nasional di Jakarta, Bekasi dan Surabaya pada pertengahan Agustus mendatang. Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI (DKI Jakarta dan Jabar) dan BBPJN VII (Jawa Timur) saat ini tengah melakukan persiapannya sehingga dapat segera dimulai.

Menurut Danis, jumlah sampah plastik di Indonesia tahun 2019 diperkirakan mencapai 9,52 juta ton atau 14 persen dari total sampah yang ada. Dengan estimasi plastik yang digunakan 2,5-5 ton per kilometer jalan, limbah plastik dapat menyumbang kebutuhan jalan sepanjang 190 ribu kilometer.

Selain itu, Danis menuturkan, aspal dengan campuran limbah plastik memiliki keunggulan tersendiri. Menurut Danis, aspal dengan campuran limbah plastik lebih lengket jika dibandingkan dengan aspal biasa. Artinya, kata Danis, stabilitas aspal dan ketahanannya lebih baik.
"Stabilitasnya meningkat 40 persen, ini menjadikan kinerja lebih baik lagi," ujar Danis.

Kepala Balitbang Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga mengatakan, pemanfaatan limbah plastik sebagai aspal tersebut merupakan salah satu solusi bagi permasalahan sampah plastik. Dalam uji coba, Kementerian menggelar aspal plastik sepanjang 700 meter yang bertempat di Universitas Udayana, Bali.

Setiap 1 kilometer jalan dengan lebar 7 meter, kata Danis, setidaknya membutuhkan campuran limbah plastik sebanyak 2,5 hingga 5 ton. "Jadi bisa dibayangkan apabila hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan di Indonesia yang memiliki jalan ribuan kilometer," tutur  Danis  dalam siaran persnya, Sabtu, 29 Juli 2017.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) melakukan uji coba sampah plastik sebagai campuran aspal. Uji coba berdasarkan studi ilmuwan Universitas Udayana, Bali, ini sekaligus untuk menekan jumlah sampah plastik di laut hingga 70 persen sampai 2025.

Produksi Kantong Plastik Perlu Dikurangi | tas spunbond di jakarta


Kepala Dinas Pasar (Dinsar) Sleman, Endah Tri Yitnani mendukung upaya mengurangi produksi plastik dari pabrikan. Menurutnya, jika pemerintah berniat mengurangi penggunaan kantong plastik, pembatasan produksi dan peredaran tas kresek dari pabrik juga perlu dilakukan. “Sebab, jika barangnya tidak ada. Mau tidak mau, masyarakat akan beralih. Hasil penjualannya kemana, juga tidak jelas,” katanya. 

Meski begitu, dia mengaku paper bag pengganti tas plastik tersebut harus dimodifikasi ulang agar kekuatannya lebih tahan lagi. Sebab, kelemahan paper bag tidak kuat ketika terkena air atau barang bawaan yang basah. “Seperti sayur yang masih basah. Atau tidak bisa digunakan saat musim hujan. Untuk itu, sosialisasi terkait kebijakan ini harus dilakukan bersama-sama, jangan sendiri-sendiri,” ujarnya.

Dia menilai, kebijakan plastik berbayar di sisi lain menjadi peluang bagi pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang memproduksi tas-tas dengan ramah lingkungan. Misalnya, paper bag atau tas dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan lainnya. “Kalau menggunakan plastik, terurainya lama. Itu bisa diganti dengan paper bag. Ini merupakan peluang bagi UKM yang banyak tersebar di Depok, Gamping dan wilayah lainnya,” katanya.

Menurut Pustopo, bentuk pengawasan kebijakan tersebut sangat mudah diterapkan di toko-toko modern. Sebab semuanya berjalan sesuai sistem. Sementara untuk toko-toko kelontong dan pasar-pasar tradisional pengawasannya sulit dilakukan. Hal itu dikarenakan, manajemennya belum diterapkan dengan benar. “Ke depan, kami akan sosialisasikan ini dengan pelaku usaha-pelaku usaha di Sleman,” katanya.

Namun semua itu dibutuhkan perda. Tanpa perda, pemerintah tidak dapat memberi sanksi, menentukan harga plastik, dan pengawasan terhadap kebijakan tersebut. Selain itu, kata Pustopo, dengan perda, pengelolaan uang hasil penjualan plastik berbayar juga dapat diawasi. “Misalnya, penjualan plastik berbayar nantinya digunakan untuk kegiatan Corporate Social Responsibility [CSR] atau untuk pelestarian lingkungan. Bisa untuk dana penanaman pohon dan lainnya,” kata dia, Minggu (28/2).

Jika diperlukan, agar penggunaan plastik dapat di tekan, maka produksi plastik di Sleman harus dibatasi. Apalagi, terdapat dua pabrik plastik yang saat ini beroperasi di Sleman.

Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindakop) Sleman, Pustopo mendukung keinginan sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) agar kebijakan plastik berbayar disertai dengan peraturan daerah (Perda).

Untuk menekan penggunaan tas plastik, produksi plastik di Sleman harus dibatasi. Di Sleman terdapat sejumlah pabrik plastik yang berdiri di antaranya terletak di Sinduadi, Mlati dan Seyegan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar