Minggu, 26 November 2017

Manfaatkan Limbah Sawit, Pertamina Dorong Ekonomi Kreatif di Aceh

Produk kerajinan tangan | jual goodie bag

https://www.goodybag.id/


Efika Jana, Ketua Kelompok Karya Muda mengatakan sejak 2013, bantuan dari Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina EP kini ibu rumah tangga di wilayah Kampung Paya Bedi Kecamatan Rantau dapat mengisi waktu kosongnya dan mendapatkan penghasilan.

Menurutnya, hampir semua bagian dari kelapa sawit yang selama ini dibuang menjadi bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi.

"Produk-produk kami juga di pajang di galery Ajang Ambe. Show room yang menampung lebih dari 40 mitra UMKM di wilayah Aceh Tamiang," pungkas Jana.

"Selama sebulan mereka bisa mengantongi pendapatan hingga Rp 3 juta," tambahnya.

Sementara itu, produk anyaman mitra binaan PEP Field Rantau ini beragam bentuk dan ukuran, seperti tas jinjing, tas laptop, kotak tisu, hingga sapu lidi. Sedangkan harga produk berkisar Rp 20.000 sampai Rp. 200.000.

Selain limbah kelapa sawit, lanjut Ricard, kelompok ibu rumah tangga berjumlah 24 orang ini juga mencari bahan baku lain seperti lalang, eceng gondok, serat gedebong pisang, daun serai untuk mengembangkan produk anyamannya.

Sebagian dari mereka jadi pengumpul dan kemudian dibeli koperasi. Sebagian yang lainnya menjadi penenun, pembuat pola dan menganyam. Upah kerja mereka setelah dikurangi bahan baku rata-rata Rp 30.000 per produk.

Selama empat tahun dalam pembinaan, Karya Muda sudah mendapat bantuan sebesar Rp 700 juta.

"Pertamina mendanai penyediaan mesin tenun, bahan baku seperti kain, benang, serta memberi pendampingan bekerjasama dengan mitra agar usahanya kokoh dan berkelanjutan," jelasnya.

Selain membentuk kelompok kerajinan, anggota juga didorong untuk memiliki sumber ekonomi baru dan berkelanjutan dengan badan usaha berbentuk koperasi.

Field Manager PEP Rantau, Richard Muthalib menjelaskan, untuk meningkatkan kemampuan mitra binaan, Pertamina telah menunjuk LP2K untuk mendampingi kelompok pengrajin dengan memberikan pelatihan dan pendampingan dalam rangka penguatan kelompok, pemasaran, permodalan.

Per­tamina EP Field Rantau membentuk Kelompok Pengrajin Anyaman Karya Muda di Kampung Paya Bedi Kecamatan Rantau Kabupaten Aceh Tamiang sejak tahun 2013.

Pembentukan kelompok kerajinan tersebut dilakukan untuk mendorong peningkatan ekonomi masyarakat melalui produk-produk kerajinan tangan yang dibuat menggunakan limbah kelapa sawit seperti pelepah pohon kelapa sawit.

Kelapa sawit selain dikenal sebagai salah satu bahan baku utama minyak goreng, akan tetapi juga menyimpan potensi ekonomi lain yakni produk kerajinan tangan.


Inilah cara produk UKM naik kelas | jual goodie bag



Menurutnya, kemasan dan inovasi produk sama pentingnya dalam menarik minat konsumen. Sama halnya dengan Diah, Wiwit juga gencar melakukan inovasi produk. Agar konsumen tidak jenuh, ia selalu mengeluarkan tema berbeda setiap tahun. “Dengan cara itu, pelanggan juga akan menunggu keluaran terbaru, produk kami bisa menjadi koleksi,” kata Wiwit yang mulai memasarkan produknya ke luar negeri. 

Inovasinya tidak terbatas pada desain produk saja. Ia juga terus mencari cara agar kualitas produknya lebih awet dan tahan lama. Selain menjemur bahan baku eceng gondok, Wiwit juga menggunakan belerang agar produknya lebih tahan lama. 

Seperti Diah yang juga membuat jenis kemasan lain agar bisa mengirim produk ke luar kota lewat jalur udara dan darat. Selain menyediakan toples berbalut boks, ia juga membuat kemasan kue kering berbungkus satuan. Masing-masing kue kering ini dimasukkan ke dalam kemasan boks. “Tidak pakai toples, jadi aman kalau dikirim ke luar kota,” kata Diah.

Bukan hanya kemasan, Diah juga gencar menjajaki varian resep kue terbaru. Selain menjual aneka kue kering, kini dia juga sedang uji coba mengaplikasikan resep kue kering menjadi bentuk cake.

Total modal yang harus Wiwit setor untuk menambah kemasan mencapai Rp 15 juta. Modal itu dipakai untuk mencetak desain name tag dan boks masing-masing sebanyak 7.000 buah. 

Dengan mengubah desain kemasan, harga produknya pun terkerek. Biasanya satu tas anyaman Wiwit hanya dihargai Rp 200.000. Sekarang, untuk model dan kualitas yang sama, harganya bisa mencapai Rp 500.000 per buah. 

Sementara produk perabot rumah tangga seperti kursi kotak untuk satu orang dihargai Rp 1 jutaan. 
Mengubah desain kemasan produk saja tidak cukup. Namanya berbisnis, pengusaha juga harus tetap berinovasi. 

Untuk mengubah kemasan menjadi lebih mewah, Wiwit memberikan name tag atau gantungan nama di tiap-tiap produk. “Jadi kalau konsumen menjadikan produk kami  untuk bingkisan atau kado, tidak malu-maluin,” ujar Wiwit. 

Wiwit pun mengubah namanya menjadi Witrove. Trove yang artinya wadah yang berisi benda-benda bernilai dan bagus pun dipilih untuk mengganti kata collection. Sebab, selain memproduksi tas, sepatu dan sandal, Wiwit juga membuat aneka perabot rumah tangga seperti kursi dan meja berbahan dasar eceng gondok. 

Untuk menaikkan kelas produknya, Wiwit menambah kemasan boks pada produk tas berbahan dasar eceng gondoknya. Selain itu, ia juga memberi label di tiap produk buatannya. 

Dengan cara ini, orang lebih mudah mengenal nama produk besutannya. “Saya rebranding produk, awalnya asal saja namanya Wiwit Collection, tapi saran desainer namanya harus diubah supaya punya nilai jual ke segmen atas,” katanya. 

Seperti halnya yang dilakukan oleh Wiwit Manfaati yang memproduksi aneka kerajinan berbahan dasar eceng gondok di Surabaya. Meski berbahan dasar limbah tanaman liar seperti eceng gondok, tidak mustahil kemasan dapat mengubah persepsi orang soal produk. 

“Pandangan pertama itu penting agar orang tertarik dengan produk kita, makanya kemasan yang baik jadi penting,” ujar Wiwit yang merintis usaha sejak tahun 2008 silam. 

Bukan hanya makanan yang perlu tampilan kemasan menarik agar kelasnya naik. Produk kerajinan tangan juga perlu dikemas menarik agar diterima oleh pasar. 

Selain harga, penjualan juga turut meningkat. “Saya pikir pembeli lama pergi, tapi justru dengan mengubah kemasan, pembeli lama maklum dan dapat pembeli baru,” kata Diah. 

Paling terasa saat momentum Lebaran, Penjualannya naik menjadi 20.000 boks selama Ramadan sampai Lebaran. Omzetnya? Tentu naik berkali-kali lipat. Saat Lebaran, Diah mengaku meraup omzet sekitar Rp 1 miliar. Begitu juga margin atau keuntungan ikut terdongkrak. Biasanya Diah hanya mengantongi margin sekitar 30% sampai 35% per kemasan, di musim ramai itu naik menjadi 40% - 45%. 

Selain itu, Diah juga membeli mesin vakum untuk membungkus camilan buatannya senilai Rp 300.000. Ini belum termasuk biaya membeli desain produk. Beruntung Diah mendapat bantuan dari Pemerintah Kota Surabaya. Melalui program Tata Rupa, ia tidak mengeluarkan dana untuk membayar desainer kemasan produk. 

Dian mengaku, seluruh biaya yang dikeluarkan berbanding lurus dengan keuntungannya. Sebelumnya menjual kue kering di harga Rp 65.000 per toples ukuran 500 gram, kini dengan kemasan baru dia menjualnya di harga Rp 85.000 per toples.

Dari situ ia pun mulai mengubah kemasan produk dengan menambahkan boks karton untuk masing-masing toples kuenya. Tentu boks karton yang digunakan sudah didesain dengan gambar dan brand Diah Cookies agar lebih berkelas.

Diah bilang, untuk pengadaan kemasan boks ini dirinya harus merogoh modal Rp 10 juta sampai Rp 20 juta. Soalnya, dia harus memesan boks hingga 20.000 pieces agar harganya lebih murah. “Ongkos produksi jadi naik Rp 3.000-Rp 4.000 per toples untuk tambah kemasan boks itu,” ujar Diah.

Di tahun 2010, saat sang suami kena pemutusan hubungan kerja (PHK), mau tak mau Diah harus menjadikan usaha kuenya sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Tak ayal, Diah harus memperbaiki resep agar kuenya mampu bersaing dengan kue kering produsen lainnya. Walau rasanya sudah siap beradu, kelasnya tetap berada di kelas C dan D karena Diah hanya menggunakan kemasan toples dan stiker. 

“Saya mulai mengubah kemasan tahun 2012 saat ikut program pemerintah kota, diberi tahu kalau kemasan produk bisa menaikkan segmen pasar, sehingga omzet juga naik,” kata Diah kepada KONTAN. 

Tidak semua pelaku bisnis menyadari bahwa kemasan produk memberikan pengaruh besar terhadap penjualan. Selama ini, banyak pelaku usaha hanya fokus menciptakan suatu produk, namun tidak memperhatikan kemasan. Kemasan yang sering digunakan hanyalah kemasan plastik biasa yang tidak berbeda dengan kebanyakan pelaku bisnis lain.

Diah Arfianti, pemilik Diah Cookies di Surabaya, adalah salah satu pelaku usaha yang sudah membuktikan pentingnya kemasan dalam mengembangkan bisnis. Usaha kue kering yang dia rintis sejak tahun 2001, awalnya hanya menerima pesanan secara musiman saja, yakni pada momen Lebaran, Natal, dan Imlek. 

Persoalannya, banyak pelaku usaha yang sering mengabaikan  hal-hal kecil tersebut. Padahal,  jika diberi perhatian serius, justru sangat membantu dalam perkembangan usaha. Contohnya persoalan yang menyangkut tampilan kemasan produk.


Setiap pengusaha pasti mendambakan bisnis yang ia rintis bisa berkembang menjadi besar. Tak terkecuali mereka yang bergerak di sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Namun, merintis usaha hingga tumbuh dan berkembang besar tentu bukan perkara mudah.

Agar usaha kecil bisa berkembang sesuai keinginan, tentu membutuhkan strategi jitu dan kiat-kiat khusus. Dalam mengembangkan usaha, banyak juga aspek penting yang perlu diperhatikan agar usaha bisa terus berkembang. Termasuk hal-hal yang kesannya kecil dan sepele, tapi krusial.


BI Kalsel dukung pengembangan kerajinan lokal | jual goodie bag




Supian berharap lebih banyak warga yang tertarik menggeluti kerajinan anyaman eceng gondok, mengingat potensi pemasaran yang semakin terbuka lebar dan bahan baku melimpah, karena hampir 90 persen wilayah Kabupaten HSU diliputi lahan rawa atau lebak.

"Kelompok kami siap membantu jika ada permintaan kelompok perajin lain yang ingin meningkatkan keterampilan membuat anyaman ilung atau eceng gondok," katanya. 

Tanpa meninggalkan anyaman purun yang merupakan keahlian turun temurun, yang diwariskan oleh orang tua mereka, kini kerajinan yang bahan bakunya cukup melimpah tersebut, berkembang cukup pesat.

Pemasaran produk kerajinan anyaman eceng gondok sudah mencapai hingga Pulau Jawa meski tidak setiap bulan pesanan mengalir kepada kelompok perajin ini.

Supian mengatakan, semula ia hanya menggeluti produk kerajinan purun, namun seiring pelatihan yang dilaksanakan Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (Diskuperindag) warga Desa Banyu Hirang mulai menggeluti anyaman eceng gondok.

Dia lantas membentuk kelompok perajin Kembang Ilung yang kini beranggotakan 20 orang, yang mempelopori pengembangan usaha kerajinan berbahan Ilung.

Pemilik Usaha kerajinan Eceng Gondok Kembang Ilung Supiaannor tersebut, Rabu (6/9) mengatakan, keuntungan usaha kerajinan eceng gondok miliknya tidak datang begitu saja.

"Saya memulai sejak 2005 melalui berbagai pelatihan, pameran dagang akhirnya terbuka pemasaran yang lebih intens," ujar Supian Noor.

Menurut dia, usaha kerajinan ilung atau Eceng Gondok di Kabupaten Hulu Sungai Utara, kini semakin menggiurkan dan perajin Desa Banyu Hirang Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan sudah membuktikannya.

Dalam satu bulan, kelompok pengrajin tersebut, bahkan bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp30 juta. 

Berkat keuletan dan inovasi yang terus menerus, kini Supian Noor bersama sang isteri Misnawartati, dipercaya Bank Indonesia untuk memberikan pelatihan bagi kelompok perajin di desa lain melalui Program Kluster Anyaman Purun dan Ilung milik Bank Indonesia.

"Bank Indonesia mendorong kami untuk mengembangkan sektor kerajinan lokal ini dengan memberikan bantuan melalui program kluster industri kecil dan menengah eceng gondok," katanya.

Bank Indonesia Wilayah Kalimantan Selatan mendukung pengembangan kerajinan lokal antara lain kerajinan eceng gondok di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang kini berkembang cukup baik.

Salah seorang pengrajin eceng gondok, Supian Noor di Amuntai, Kamis, mengatakan kini kerajinan eceng gondok yang dia rintis telah dikenal oleh konsumen dari berbagai daerah di Indonesia.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar