Selasa, 15 Agustus 2017

Sugianto Tandio Gagas Tas Plastik dari Singkong

Plastik ramah lingkungan | goody bag company

goody bag company



“Sekitar 90 persen shopping bag peritel besar sudah memakai Oxium,” kata Sugianto, dilansir Tempo. Produknya telah masuk ke pasaran mulai tahun 2010. Sugianto mengatakan bahwa 5.000 ton tas belanja mampu diproduksi pabriknya selama sebulan.

Sementara itu, peritel di Indonesia masih sedikit yang menggunakan plastik Ecoplas. Sebabnya, Ecoplas lebih mahal sekitar 50% daripada Oxium. Menurut Sugianto, plastik Ecoplas lebih banyak diekspor. Keunggulan Ecoplas adalah lebih cepat terurai daripada Oxium karena menggunakan bahan organik. Sementara itu, plastik Oxium mampu terurai dalam jangka waktu dua tahun.

Oxium dan Ecoplas adalah dua teknologi plastik ramah lingkungan yang ditemukan oleh Sugianto. Fungsi Oxium adalah mempercepat terurainya plastik. Cara aplikasinya adalah dengan menambahkan Oxium ke biji plastik biasa. Sementara Ecoplas adalah plastik dari tepung singkong.

Keresahan Sugianto ditambah dengan keprihatinannya melihat Sungai Citarum yang dipenuhi sampah plastik membuat dia mengadakan penelitian terkait plastik ramah lingkungan. Sejak tahun 2000, dengan berbekal ilmu dan pengalamannya saat sekolah di University of North Dakota, Amerika Serikat, akhirnya dia berhasil menemukan solusi plastik ramah lingkungan yang bisa diaplikasikan di Indonesia.

Pemilik perusahaan plastik kemasan PT. Tirta Marta, Sugianto Tandio, merasa resah karena telah selama 40 tahun membuat plastik biasa yang tidak ramah lingkungan. Padahal, plastik merupakan bahan yang sulit terdegradasi secara alami sehingga merusak lingkungan.


PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN: 2 TAHUN BISA TERURAI | goody bag company


Penemuan” Sugianto ini sudah mendapatkan green label dari Indonesia Solid Waste Association (INSWA). Selain sertifikat green label, Oxium juga sudah lulus uji dari Sucofindo, Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, serta R&D Center Indonesia Solid Waste Perisai.

Meski baru shopping bag, namun penemuan Sugianto dengan Oxium-nya merupakan sebuah solusi terhadap plastik yang selama ini “dimusuhi” banyak orang, termasuk saya. Nah, sekarang ini tiap belanja ke tempat-tempat yang sudah disebutkan tadi, saya tak perlu lagi membawa tas-tas untuk menghindari plastik, karena tas plastik yang di tempat-tempat belanja itu sudah dijamin oleh Oxium sebagai plastik ramah lingkungan.

“Saat ini ada 15 pabrik yang menggunakan Oxium. Kita akan mem-black list pabrik yang menjual plastik ke toko-toko tersebut yang tidak sesuai dengan standar Oxium,” ujar Sugianto. “Percuma dong kalau toko-toko tersebut bilang go green tetapi plastiknya tidak ramah lingkungan.”

Beginilah kalo belanja bulanan. Saya dan istri tak pernah lagi menggunakan shopping bag, tetapi membawa beberapa tas untuk memasukkan barang belanjaan. Demi menghindari sampah plastik di rumah. Tetapi kalo ada penemuan sampah ramah lingkungan, sekali-sekali bolehlah pakai shopping bag dari plastik.

Seperti yang saya katakan, kita sulit menghindari plastik. Jadi harus ada solusi agar bisa menjadikan plastik mudah untuk terurai. Banyak orang yang kerap mengkritisi, tapi tidak punya solusi. Sabtu kemarin, saya baru tahu, ada tas plastik yang terbuat dari bahan singkong. Adalah ecoplas (www.eco-plas.com) yang mengeluarkan kantong plastik berbahan singkong. Ada pula Oxium (www.oxium.net), yakni produk dalam negeri yang telah mengeluarkan plastik ramah lingkungan. Produk ini dapat mempercepat proses degradasi plastik dalam waktu kurang lebih 2 tahun melalui mekanisme oksidasi, thermal, dan fotodegradasi (cahaya matahari).

Saat ini Oxium sudah digunakan oleh hampir lebih dari 90% di pasar modern, yakni di Carrefour, Indomaret, Alfamart, Superindo, Hero, Giant, Tip Top, Kemchicks, Guardian, Century, Yogya, Zara, dan Gramedia. “Namun saat ini kita baru fokus di shopping bags-nya saja dan masih di modern market,” ujar Sugianto. “Selanjutnya, kita akan menyisir ka pasar tradisional dan produk-produk lain yang terbuat dari plastik, bukan cuma shopping bag saja.”

Ternyata tidak. Pakar kimia plastik asal Amrik Steven Hetges mengatakan, plastik sesungguhnya tidak membahayakan. Plastik berasal dari jasad renik (mikroorganisme) dari tumbuhan laut yang mati dan mengendap di dasar bumi. Berdasarkan teori organik seperti yang kemukakan oleh Engker (1911), proses pelapukan dan penguraian secara anaerob dalam batuan berpori, akan mentransformasi jasad-jasad renik tersebut menjadi minyak bumi yang menjadi bahan dasar dari plastik.

So, plastik berasal dari bahan material organik. Kecuali plastik yang memiliki kestabilan fisikokimia yang sangat kuat, sehingga membutuhkan waktu ribuan tahun untuk dapat mengurai secara alami. plastik berbahan konvensional dari polimer sintetik, misalnya, yang saya sebut tadi baru bisa terurai dengan sempurna 300-500 tahun. Ibarat kata, kita sudah meninggal, hidup lagi, meninggal lagi, baru terurai plastik berbahan konvensional itu.

Plastik yang saya foto ini terbuat dari singkong. Sebagai orang awam, ketika melihat secara langsung dan memegang plastik ini, saya tidak tahu kalo plastik ini terbuat dari singkong.Di shopping bag ini tertulis: this bag is 100% degradable. It contains natural and sustainable resources.

Awalnya saya kaget. Plastik dari bahan organik? Artinya, seharusnya plastik itu bisa terurai sebagaimana makanan dong? Tapi kenapa plastik baru bisa terurai dengan sempurna membutuhkan waktu 300-500 tahun? Bahkan, berdasarkan penelitian dosen Kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB), I Made Arcana, zat pewarna hitam yang umumnya ada di kantong plastik, berbahaya bagi kesehatan. Zat ini kalo terkena panas dapat terdegrasi dan mengeluarkan zat yang menjadi salah satu pemicu kanker. Oleh sebab itu, kalo beli gorengan atau makanan yang masih panas, jangan langsung diletakkan di kantong plastik.

Jadi plastik itu berbahaya dong?

Namun, tentu sulit sekali menghindari plastik 100%. Kita sudah “terkepung” dengan plastik. Bahkan manusia sendiri sudah bersatu dengan plastik. Lihat saja mereka yang operasi hidung, dagu, dan anggota badan lain, dimana dibutuhkan plastik. Makanya saya katakan di atas tadi, diam-diam musuh, karena terpaksa menggunakan plastik di kala berbelanja di toko yang menggunakan plastik sebagai shopping bag kala saya tidak membawa tas lain.

Sabtu kemarin (16/10), saya diundang oleh Lucid Communication untuk menghadiri kongkow-kongkow para blogger. Bertempat di Tartine Restaurant, FX Lifestyle X’nter, Jakarta Selatan, saya dan teman-teman sesama blogger mendapat perspektif baru soal plastik.

“Plastik itu termasuk bahan organik,” ujar Sugianto Tandio. 

Diam-diam saya ini musuh dalam selimut terhadap plastik. Di blog-blog saya dan di Kompasiana ini pun saya seringkali mengkampanyekan gerakan Say No to Plastik. Bukan cuma omong doang, dalam praktek sehari-hari, tiap kali belanja, saya dan istri selalu membawa sejumlah tas terbuat dari bahan agar menghindari plastik. Begitu pula ketika di toko buku, sebisa mungkin, saya keluar tanpa plastik.


Kantong Plastik Belanja Kembali Gratis? | goody bag company



Nah, walau begitu, banyak pihak yang menganggap tindakan Aprindo yang menghentikan kebijakan ini justru akan berbuah baik, yaitu dikeluarkannya Permen yang secara sah mengatur kebijakan kantong plastik berbayar (entah kapan, tapi semoga dalam waktu dekat).

Lalu apa yang bisa kita lakukan sambil menunggu ‘mukjizat’ tersebut? Apapun peraturannya, kita semua sebaiknya tetap meneruskan kebiasaan baik yang sudah mengurangi pemakaian plastik saat berbelanja—bahkan kalau bisa, tidak menggunakan sama sekali. Tak hanya itu, kita semua juga harus lebih teliti saat membeli kantong plastik. Pastikan tagihannya tertera pada nota belanja, agar kita terhindar dari kecurangan kasir-kasir ‘nakal’.

Melihat kondisi ini, terlihat jelas bahwa Pemerintah Pusat, Pemda, dan Aprindo tidak kompak. Selain masyarakat dibuat bingung, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) pun dibuat geram. Pasalnya—walau hasil tiap daerah berbeda-beda—penurunan penggunaan plastik berkat adanya kebijakan ini rata-rata sudah tembus hingga angka 40%. Angka yang baik untuk membantu menyelamatkan lingkungan, dan akan sayang sekali bila kebijakan ini tidak diteruskan, bukan?

Hmmm, di Jakarta sendiri hingga beberapa hari lalu, beberapa retail sudah menghentikan kebijakan plastik berbayar. Hanya beberapa retail besar seperti Hero, Giant, Alfa, Food Hall, dan Farmer’s Market yang masih mewajibkan konsumen untuk membeli kantong plastik saat belanja. 

Di Bandung saja, sejak 1 Juni 2016, minimarket-minimarket kembali menggratiskan kantong plastik. Sesuai SE Aprindo Pusat, pengusaha retail boleh menghentikan atau memberlakukan kebijakan tersebut. Maka sejak 1 Oktober 2016 lalu, Aprindo pun resmi menghentikan kebijakan ini secara nasional. Alasannya? Karena tidak pernah ada hukum dari pemerintah yang mengatur hal ini secara sah dan kebijakan ini masih berupa tahap uji coba.

Namun apa daya, Permen tak kunjung keluar. Lalu pada tanggal 8 Juni 2016, KLHK justru mengeluarkan SE yang ke-2 yang justru memunculkan kebingungan. SE ini memberi wewenang kepada Pemda untuk mengatur mekanisme kebijakan kantong plastik berbayar, sementara Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menuntut kewenangan serupa. Karena tidak ada hukum yang jelas, sejak bulan Juni 2016 lalu, kebijakan kantong plastik berbayar pun berjalan setengah-setengah. Ada beberapa pengusaha retail yang tetap memberlakukan kebijakan tersebut, sementara yang lain memberikan kantong plastik dengan gratis.  

Sampai di sini semuanya berjalan baik, terlebih karena harapan keluarnya Peraturan Menteri (Permen) mengenai kantong plastik berbayar itu ada. Semua pihak yang mendukung diet kantong plastik pun menyambut gembira.

Secara nasional, SE tahap pertama ini sebetulnya cukup sukses mengurangi pemakaian kantong plastik, terlepas dari pro dan kontra yang ada. Hasil pantauan dan evaluasi KLHK menemukan penurunan sebesar 25%-30% dalam penggunaan kantong plastik selama 3 bulan ini. Ada 87,2% masyarakat yang menyatakan dukungannya terhadap program ini, dan 91,6% masyarakat juga bersedia membawa kantong plastik sendiri dari rumah.

Meski telah memiliki Perda No.17/2012 yang berisi tentang imbauan kepada masyarakat untuk mengurangi penggunaan kantong plastik, namun SE KLHK tersebut belum mengatur harga kantong plastik yang harus dibayarkan konsumen kepada pengusaha retail secara jelas. Rp200 adalah kesepakatan harga minimal kantong plastik yang ‘tidak tertulis’ saat itu.

Jadi begini. Sedikit flashback, pada tanggal 21 Januari 2016, Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Surat Edaran (SE) mengenai kebijakan kantong plastik berbayar bagi 22 kota dan 1 provinsi di Indonesia. Secara otomatis, seluruh pengusaha retail pun mewajibkan pembelian kantong plastik kepada para konsumennya sejak tanggal 21 Februari 2016 hingga 31 Mei 2016. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar